Candi Kidal (tinggi 12,5 m, luas: 35 m2) terletak didesa Rejokidal sekitar 20 km sebelah timur
kota Malang - Jawa Timur. Candi Kidal dibangun pada 1248 M,
bertepatan dengan berakhirnya upacara pemakaman Cradha untuk Raja
Anusanatha (Anusapati), pengganti Raja Rajasa Sang Amurwabhumi.
Anusapati diarcakan sebagai Siwa dan ditempatkan di ruang utama
candi. Namun sekarang ini arca tersebut tidak berada pada tempatnya
lagi. | | | | | | |
| | | [navigasi.net] Budaya - Candi Kidal Arca Mahakala dan Nandiswara yang terletak pada kaki anak tangga | | | | |
Dari daftar buku pengunjung yan ada nampak bahwa Candi kidal
tidaklah sepopuler temannya Candi Singosari, Jago atau Jawi. Hal
ini karena Candi Kidal terletak jauh dipedesaan, tidak banyak
diulas oleh pakar sejarah dan jarang ditulis pada buku-buku panduan
pariwisata. Lokasi candi ini sendiri berada dipinggir jalan utama
desa, namun karena terletak menjorok agak ke dalam sehingga sulit
dilihat sebelum benar-benar tepat berada di depan gerbang masuk
kawasan candi.
Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris
vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas
kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Ukuran
tubuh candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi,
sehingga menekankan kesan ramping. Atap candi terdiri atas tiga
bagian dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas
tanpa hiasan atap seperti ratna atau stupa.
Masing-masing lapisan disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan .
Konon katanya tiap pojok lapisan atap candi dulu tempat berlian
kecil.
| | | | | | |
| | | [navigasi.net] Budaya - Candi Kidal Ukiran banaspati yang terletak diatas pintu masuk candi | | | | |
Hiasan kepala kala nampak menyeramkan dengan matanya melotot
penuh. Mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan
bengkok memberi kesan dominan. Adanya dua taring tersebut juga
merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Disudut kiri dan
kanan terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam.
Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.
Dilihat dari usianya, Candi Kidal merupakan candi paling tua
dari peninggalan candi-candi di Jawa Timur. Hal ini karena periode
Airlangga (11-12 M) dan (Kediri (12-13 M) tidak meninggalkan sebuah
candi, kecuali Candi Belahan dan Jolotundo yang sesungguhnya bukan
merupakan candi melainkan pertirtaan. Bertitik tolak dari
uraian diatas, dengan masih memiliki corak Jawa Tengahan dan
mengandung unsur Jawa Timuran, maka Candi Kidal dibangun pada masa
transisi dari kedua periode tersebut. Bahkan Candi Kidal disebut
sebagai prototipe candi periode Jawa Timur-an.
Nama Kidal sendiri sangat mungkin berasal dari bentuk ragam hias
candi makam Anusapati yang tidak lazim, dimana umumnya ragam hias
terutama relief-relief pada candi bersifat paradaksina
(sansekerta = searah jarum jam, dari kanan ke kiri), tetapi Candi
Kidal justru bersifat prasawya (sansekerta = berlawanan arah jarum
jam, dari kiri ke kanan). Kidal sendiri dalam bahasa Jawa Kuno
bermakna "kiri".
| | | | | | |
| | | [navigasi.net] Budaya - Candi Kidal Motif hiasan yang berbentuk medalion yang dipenuhi beragam hias tumbuh-tumbuhan, bunga-bungaan dan sulur-suluran | | | | |
Candi Kidal adalah satu-satunya candi Jawa yang meiliki narasi
cerita Garuda terlengkap. Terdapat tiga relief Garuda dalam candi
ini, yang pertama Garuda dengan menggendong tiga ular besar, relief
kedua melukiskan garuda dengan kendi diatas kepalanya dan relief
ketiga Garuda menyangga seorang wanita diatasnya. Diantara ketiga
relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih
utuh.
Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief garuda
(garudeya) pada candi kidal ? Apa hbungannya dengan
Anusapati ? Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan
kepada keluarganya agar kelak dicandi yang didirikan untuknya
supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian
karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya,
yang selalu menderita dan selama hidupnya belum sepenuhnya menjadi
wanita utama.
Legenda ....................
Dalam kesusasteraan Jawa kuno, terdapat cerita populer
dikalangan rakyat yaitu Garudeya, yakni kisah perjalanan garuda
dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air
suci amerta.
| | | | | | |
| | | [navigasi.net] Budaya - Candi Kidal Relief Garudeya dengan air amerta, terletak disisi timur candi | | | | |
Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah dua bersaudara istri
Resi Kesiapa. Kadru mempunyai anak angkat tiga ekor ular dan Winata
memiliki anak angkat garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan
lelah mengurusi tiga anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering
menghilang diantara semak-semak. Timbullah niat jahatnya Kadru
untuk menyerahkan tugas ini kepada winata. Diajaklah Winata
bertaruh pada warna ekor kuda putih Uccaihswara yang sering
melewati rumah mereka, dengan catatan yang kalah harus
menuruti segala perintah pemenang. Kadru menganggap warnanya adalah
hitam sedangkan Winata menganggap warnanya adalah putih.
Para ular tahu bahwa ibu mereka salah. Mereka memberi tahu
Kadru, ibunya. Kadru kemudian membuat rencana agar anak-anaknya,
para ular mengubah warna ekor kuda Uccaihswara dengan bisanya.
Usaha ibu beranak itu berhasil, Winata kalah dan dijadikan budak
oleh Kadru. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani
segala keperluan Kadru dan mengasuh ketiga ular setiap hari. Winata
selanjutnya meminta tolong pada Garudeya, anaknya utnuk membantu
(relief pertama).
Ketika Garudeya tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya
mengapa dia harus menjaga ketiga saudara angkatnya. Setelah
diceritakan tentang pertaruhan kuda Uccaihswara, maka Garudeya
mengerti. Ditanyakanlah kepada ketiga ular tersebut bagaimana
caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab
oleh ular "bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di
kahyangan serta dijaga para dewa dan berasal dari lautan susu".
Garudeya menyanggupi dan segera mohon ijin ibunya untuk berangkat
ke kahyangan.
| | | | | | |
| | | [navigasi.net] Budaya - Candi Kidal Relief Garudeya mengendong ibunya, terletak disisi utara candi | | | | |
Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garudeya
sehingga terjadi perkelahian. Namun para dewa dapat dikalahkan.
Melihat hal ini Batara Wisnu turun tangan dan Garudeya dapat
dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garudeya tentang keinginannya
mendapatkan amerta, maka Batara Wisnu memeperbolehkan dengan syarat
Garudeya harus mau jadi kendaraan tunggangannya. Garudeya
menyetujui, sehingga bisa membawa air amerta kembali turun ke bumi
(relief kedua).
Sejak saat itu pula Garudeya menjadi tunggangan Batara Wisnu.
Dan dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garudeya dapat
membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan
pada relief ketiga dimana Garudeya dengan gagah perkasa menggendong
ibunya dan bebas dari perbudakan.
Disadur dari artikel wisata Candi Kidal dan
buku Petunjuk Wisata Sejarah Kabupaten
Malang
|