Sejenak terlintas dalam pikiran kita barangkali ketika mendengar
nama Kampung Naga. Ternyata bentuk asli dari kampung tersebut
sangat berbeda dengan namanya, dan gambaran kita tentang hal-hal
yang berbau naga, karena tak satupun naga yang berada di sana.
Kampung Naga hanyalah sebuah kampung kecil, yang karena para
penduduknya patuh dan menjaga tradisi yang ada, membuat kampung ini
unik dan berbeda dengan yang lain. Tak salah jika kampung ini
menjadi salah satu warisan budaya Bangsa Indonesia yang patut
dilestarikan.
"Kita semua, masyarakat disini memegang peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh Moyang kita," kata Pak Atang salah satu guide yang
menemani rombongan ke Kampung Naga. Walaupun dengan Bahasa
Indonesia yang kurang begitu lancar, Pak Atang cukup bersemangat
dan hangat memberikan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang diajukan
peserta rombongan. Pak Atang, adalah salah satu warga Kampung Naga
yang harus keluar dari kampung tersebut, karena menikah dengan
orang dari luar penduduk Kampung Naga. Begitulah salah satu
peraturan yang ada di dalam kampung itu, bahkan ketika terjadi
pernikahan antara muda-mudi dari kampung ini bisa jadi pasangan
tersebut harus keluar dari Kampung Naga juga jika tidak tersedia
tempat tinggal (rumah). Rumah di Kampung Naga jumlahnya selalu
dipertahankan, yaitu tidak boleh kurang dan lebih dari 118
bangunan. dari 118 bangunan tersebut, sebanyak 108 bangunan adalah
rumah penduduk, sisanya adalah bangunan masjid, ruang pertemuan dan
rumah agung ( rumah besar ) yang tidak boleh ditempati oleh
siapapun.
| | | | | | |
| | | [navigasi.net] Budaya - Kampung Naga | | | | |
Penduduk Kampung Naga menganut agama Islam, yang dikombinasikan
dengan kebudayaan setempat warisan dari nenek moyang dulu. Jumlah
keseluruhan penduduk sekitar 325 orang, sebagian besar
bertani dan berternak ikan. Tanaman pertanian yang ditanam biasanya
adalah padi, jagung, sayur-sayuran dan apotik hidup. Tanah di
kampung ini tergolong sangat subur, karena tekstur tanah yang
miring, kemudian dibatasi oleh sungai, dan diapit oleh bukit -
bukit yang lumayan terjal. Karena terletak di wilayah pegunungan,
kondisi cuaca juga sangat membantu para petani di kampung ini,
semua tanaman yang ditanam dapat tumbuh subur. Di belakang rumah
penduduk, terdapat kolam-kolam ikan, berisi ikan lele, ikan
mas dan ikan gurame, yang setiap waktu siap dipanen dan memberikan
penghasilan lumayan buat para penduduk.
Keunikan dari rumah-rumah di Kampung Naga adalah semuanya
beratap ijuk, dan menghadap ke arah kiblat. Letaknya berjajar dari
atas ke bawah, hingga dari jauh terlihat putih dan hitam yang
bertumpuk bagaikan tanaman jamur yang tumbuh subur. Kesuburan dan
kedamaian memang sangat terasa ketika kita mulai menuruni tangga
menuju kampung tersebut. Sebanyak 360 tangga harus kita lalui untuk
menuju Kampung Naga ini, turunannya cukup tajam, sehingga kalau
hujan saat turun kita harus cukup berhati-hati kalau tidak mau
terpeleset dan jatuh ke jurang-jurang yang ada dibawahnya. Ketika
menuruni tangga, sejauh mata memandang adalah sawah teras siring
yang menghijau, sungai jernih melintas dan melingkar dibawahnya,
terasa damai sekali. Sesekali gemercik air itu terdengar, diselingi
oleh tiupan angin yang menusuk hati, sepertinya mengajak kita untuk
merenung dan kembali ke masa lalu. Ketika berpapasan dengan
penduduk setempat, mereka juga selalu melempar senyum kepada para
tamu dan mengucapkan salam. Sepertinya tidak ada rasa keberatan
dari mereka untuk dikunjungi, tapi sebagai tamu kita harus selalu
menjaga kesopanan dan mentaati peraturan yang berlaku.
Tidak boleh berkata sembarangan, mematahkan ranting-ranting
pohon, atau menganggu hewan-hewan yang ada disekitar adalah
kearifan lokal yang harus dipatuhi oleh para pengunjung. Seperti
dikatakan Pak Atang, "Di seberang sungai adalah hutan larangan,
siapapun tidak boleh mengambil ranting pohon apalagi menebang
pohon, bisa dikenai sangsi adat,". Logikanya adalah jika
pohon-pohon tersebut ditebang tentunya sangat berbahaya,
kemungkinan longsor dan banjir karena tekstur tanah yang miring,
juga bisa terjadi putusnya rantai kehidupan di wilayah tersebut.
Dari sisi lain kampung ini, yang berfungsi sebagai pembatas wilayah
adalah adanya dua air terjun kecil dari atas bukit, yang berfungsi
sebagai pengairan pada musim kemarau, dan mencegah erosi secara
langsung dari bukit-bukit yang berada diatasnya. Cerita lain dari
keajaiban air terjun tersebut adalah, kita tidak diperbolehkan
mandi di air terjun tersebut ketika menjelang waktu maghrib, pasti
akan kesurupan, boleh percaya atau tidak.
| | | | | | |
| | | [navigasi.net] Budaya - Kampung Naga | | | | |
Ketika ada tamu datang, beberapa penduduk dewasa dan tua keluar
dari rumah dan melihat rombongan, kebanyakan dari mereka tidak bisa
berbahasa Indonesia. Dari keterangan Pak Atang, guide kami, mereka
bertanya pada Pak Atang," selamat datang dan menanyakan rombongan
dari berasaal dari mana," dalam bahasa sunda. Sore itu ketika
rombongan kami datang, banyak para penduduk yang sedang menganyam
kerajinan tangan. Hasil kerajinan tangan penduduk kampung ini,
telah dijual ke berbagai kota di Indonesia, bahkan ke luar negeri,
karena setiap hari ada saja wisatawan manca negara yang berkunjung
ke sini. Lebih asyik lagi, para pengunjung juga diperbolehkan
menginap di kampung tersebut untuk ikut menyelami kehidupan
masyarakat Kampung Naga. Kita akan diajak kembali kepada kehidupan
masa lalu, yang betul-betul asli. Bayangkan, listrik tidak boleh
masuk ditempat ini, karena ditakutkan akan terjadi hubungan pendek
dan bisa menimbulkan kebakaran. Kalau malam hari hanya pakai lampu
teplok, sehingga kehidupan malam betul-betul terasa sepi dan
meredup, terasa damai dalam hati.
Namun sayang, ditengah ketatnya aturan adat, ternyata para
penduduk diperbolehkan untuk memiliki tv dengan mempergunakan
tenaga accu. Hal ini tentu kontradiktif dan sangat berbahaya,
karena media komunikasi tv malah bisa meruntuhkan kearifan lokal
penduduk setempat. Disamping itu, pintu masuk Kampung Naga, juga
sudah terkontaminasi dengan budaya-budaya dari luar yang kurang
bagus. Terbukti waktu rombongan selesai berkunjung, kemudian
ditempat parkir kita berhenti dan beristirahat di warung sekitar
tempat parkir mobil. Ternyata pemilik warung tersebut, menghibur
para pengunjung dengan lagu disco dan rock barat, terasa agak aneh
memang. Karena tak jauh dari situ adalah sekumpulan penduduk yang
ketat dalam menjaga aturan Nenek Moyang, dan di shelter terakhir
tempat masuk dan keluar penduduk Kampung Naga kita akan disuguhi
berbagai hal yang berhubungan dengan globalisasi. Akses yang sangat
mudah ke Kampung Naga ini, karena berada ditepi jalan raya utama
antara Garut dan Tasikmalaya juga menjadi ancaman lain terhadap
keunikan dan kelestarian kampung adat ini. Untuk itu
masyarakat setempat, pemda dan seluruh pihak terkait harus menjaga
salah satu kekayaan budaya Bangsa Indonesia ini.
|