Lokasi Watupinawetenagan atau disebut juga dalam dialek Minahasa
sebagai Watu Pinabetengan, berjarak sekitar 50km dari kota Menado
melewati daerah Kiawa dan terus ke Kanonang. Posisinya berada dalam
wilayah kabupaten Minahasa. Saat melewati Kiawa, mampirlah dahulu
di gua Jepang tempat tentara "saudara tua" waktu itu melarikan diri
dan bersembunyi disini dari serbuan tentara sekutu. Gua yang kosong
melompong ini lumayan untuk ditengok sejenak sembari menghabiskan
rokok sebatang. Perjalanan kesana sebaiknya dilakukan pagi hari
karena saat itulah sinar matahari yg terbit akan menyinari area
gunung Klabat dengan eloknya. Rugi jika kesiangan jalan dengan
mobil. Matikan AC mobil dan nikmati kesejukan desir angin selama
perjalanan kesana.
Sejarah batu dari era Megalitikum ini tidak diketahui banyak.
Tidak ada data tertulis mengenai keberadaan batu ini kecuali cerita
turun temurun yang kemudian dipakai sebagai referensi tentang
keberadaan mereka. Bahkan staff Puslit Arkenas (Arkeologi Nas) yang
ada di Museum Menado pun tidak punya data banyak "sejak kapan,
kenapa dan mengapa" batu ini ada. Ketika berada di musium
saya juga mencari data lebih luas mengenai ini, tapi sekali
lagi hasilnya nihil besar. Pertanyaan seputar asal muasal batu
istimewa ini, baik secara ilmiah ataupun legenda, selalu menemui
jawaban yang sama seperti yang akan saya tulis dibawah ini (saya
tersenyum, mirip patron saja jawaban sejarah batu ini).
Watupinawetengan mempunyai dimensi raksasa. Tingginya sekitar 2
meter dengan panjang hampir 3m-an. Selintas mirip meja datar yg
agak miring. Dijaman dahulu, batu ini dipakai untuk berkumpul duduk
bersama diatas batu, oleh ketujuh orang "dotu-dotu" atau kepala
adat yang mewakili tujuh wilayah suku di Minahasa yakni
Tombulu, Tonsea, Toulour, Tontemboan, Tonsawang,
Ponosakan dan Pasan Ratahan.
Saya sedikit membayangkan bentuk batu ini seperti ide "duduk
duduk dibawah pohon besar, disebuah batu luas", mungkin seperti
piknik dan rapat bersama dijaman baheula, atau dalam konsep modern
sekarang disebut "outbound meeting" :-) Ketujuh kepala adat
tersebut berkumpul dalam hitungan purnama kesekian kali dalam
hitungan tertentu, untuk membicarakan isu lokal seperti wilayah
kekuasaan, perdagangan, adat, kesejahteraan, atau bahkan membahas
penyerangan terhadap kelompok musuh yang dianggap akan
membahayakan posisi komunitas mereka serta membentuk aliansi
kekuatan pasukan antar suku.
Batu ini secara fisik mempunyai permukaan licin dan nyaris rata.
Batu tua yang amat keras dan kokoh tertanam sebagian didalam tanah.
Teksturnya khas dengan guratan campuran coklat tua kehitaman dan
garis kemerahan, mirip andesit tua yg tidak getas. Diatas permukaan
batu ada beberapa guratan bergambar manusia (lihat foto). Sayang,
dikiri kanan gambar purba itu juga banyak guratan dan coretan
"modern tangan iseng" yg dibuat pengunjung ketika main disini. Saya
sedikit tergelak ketika membaca guratan tulisan samar samar dibatu:
"sayang kamu... menado" hehehe, ini jelas bukan kerjaan para
dotu-dotu tua itu menuliskan kata "i love you" dijaman jenggotan
itu.
|