| | | | | | |
| | | [navigasi.net] Flora&Fauna - Taman Nasional Ujung Kulon Sepasang rusa yang terlihat di tepi pantai merupakan salah satu jenis komunitas Taman Nasional Ujung Kulon | | | | | Ujung Kulon terletak diprovinsi Banten, tepatnya diujung barat
bagian selatan, dengan luas areal -/+ sebesar 1.350 kilometer
persegi, termasuk beberapa pulau seperti pulau Pucang, Panaitan
dan Handeuleum. Areal Ujung Kulon telah diproteksi sejak zaman
Belanda ditahun 1921 dan secara resmi merupakan Taman Nasional
sejak tahun 1980. Disamping Banteng (Bos Javanicus), beberapa
reptilia dan burung-burung, primadona Ujung Kulon adalah Badak
bercula satu (Javan Rhinoceros) yang diperkirakan hanya sekitar
65 ekor yang tersisa ditaman nasional Ujung Kulon.
Ujung Kulon dapat dicapai dari Jakarta dengan melalui jalan
tol Jakarta – Merak, exit Anyer/Carita, langsung kearah
selatan, Labuhan (S6.586944-E105.858889) terus sampai Sumur
(S6.839722-E105.835833). Perjalanan sejauh 240 kilometer,
ditempuh dalam waktu 4 jam, dengan kecepatan wajar. Kondisi jalan
cukup baik, kecuali disekitar pabrik Krakatau Steel yang rusak
cukup parah. Perjalanan terberat adalah ruas Sumur – Taman
Jaya, sejauh 20 kilometer yang ditempuh dalam waktu 2 jam, jadi
bisa dibayang bagaimana kondisi jalannya: indescribable! Hanya
bisa ditempuh dengan kendaraan SUV 4X4! | | | | | | |
| | | [navigasi.net] Flora&Fauna - Taman Nasional Ujung Kulon Segerombolan sapi hutan yang juga merupakan 'penduduk asli' komunitas Taman Nasional Ujung Kulon | | | | |
Sebenarnya, ada alternative lain dan kita tidak perlu menempuh
ruas Sumur – Taman Jaya, cukup menuju Logon Umang
(S6.730000-E105.624444) dan menuju Ujung Kulon melalui pulau
Umang Resort, sekitar 5 kilometer dari Sumur.
Disaat berjuang melalui jalan yang rusak parah,
ditengah-tengah perjalanan, tepatnya didesa Cisaat
(S6.767500-E105.600556) saya melihat gedung sekolah Madrasah
Ibtidaiyah yang masih cukup terpelihara dengan tulisan: Hibah
dari Pemerintah Belanda. Hartelijk dank Meneer!
Meskipun desa Ujung Jaya adalah desa terakhir untuk menuju
Ujung Kulon, baik melalui darat maupun laut, tetapi fasilitas
didesa Taman Jaya jauh lebih baik dalam hal akomodasi dan
ketersediaan supply bahan makanan.
Disamping masyarakat lokal dari ethnik Sunda dan Badui, didesa
Taman Jaya ada masyarakat Bugis yang sudah bermukim disana sejak
zaman Belanda. Dengan keterbatasan lahan didaerah asalnya,
umumnya orang Bugis berlayar mencari teluk dan pesisir diseantero
Indonesia dan bermukim disana dengan mempertahankan budaya dan
tradisi mereka. Konon ada perpatah Bugis yang mengatakan: Tempat
yang terbaik adalah dimana saja selama masih terdengar suara
ombak, makanan yang terbaik adalah hasil laut, kendaraan yang
terbaik adalah perahu. | | | | | | |
| | | [navigasi.net] Flora&Fauna - Taman Nasional Ujung Kulon Tempat penginapan yang tersedia di area ini | | | | |
Masyarakat Bugis didesa Taman Jaya ini rupanya lebih memiliki
entrepreneurship sehingga secara ekonomis mereka jauh lebih baik.
Banyak diantara mereka yang menjadi “juragan ikan.
Sampai didesa Taman Jaya setelah melalui jalan yang rusak
parah, 20 kilometer selama 2 jam, saya bersyukur melihat
akomodasi yang disediakan: bungalow yang asri dan sangat bersih,
kamar dengan fasilitas AC dan kamar mandinya dengan fasilitas air
panas/dingin. Ruangan tamu yang sangat luas dan pemandangan
diteras kearah teluk Ujung Kulon yang sangat menyejukkan.
Bungalow ini berdiri ditanah seluas -/+ 1 hektar dan sebagaimana
lazimnya kalau ada bangunan mewah ditempat-tempat yang terpencil,
pastilah itu milik “orang Jakarta..
Harga kamar Rp 250.000.- semalam, tanpa makan, kecuali teh dan
kopi yang disediakan kapan saja kita minta. Suhendi, Minggu dan
Sabana para penjaga bungalow, selalu siap membantu kalau diminta
tolong untuk melakukan sesuatu. Meskipun listrik “byar-pet
sering mati beberapa saat, tetapi tinggal dibungalow ini sangat
menyenangkan, apalagi untuk “nyepi atau bermeditasi
Saya disambut oleh Pak Komar, putra Pak Sakmin Ranger
Ujung Kulon yang membaktikan dirinya pada pelestarian
habitat Badak Ujung Kulon. Pak Sakmin muncul dibeberapa film
tentang Ujung Kulon, diantaranya film yang dibuat oleh National
Geography Society dan beliaupun akrab dengan dignitaries seperti
Prince Bernhard dari Belanda dan Prince Charles dari Inggris,
sewaktu mereka mengunjungi Ujung Kulon. Prestasi tertinggi
dari almarhum Pak Sakmin adalah sewaktu menerima Kalpataru dari
Presiden Suharto ditahun 1981, sebagai penghargaan tertinggi atas
personal achievement dan dedikasi pada tugas yang diembannya. | | | | | | |
| | | [navigasi.net] Flora&Fauna - Taman Nasional Ujung Kulon Tampak dalam suasana isi kamar dari tempat penginapan | | | | |
Komar anaknya juga seorang Ranger Ujung Kulon, tetapi agaknya
kurang sepakat dengan cara-cara penanganan Taman Nasional Ujung
Kulon dan memutuskan untuk berwiraswasta. Komar memiliki
“Sunda Jaya Home Stay dan memiliki beberapa perahu dan
sebagai pemandu wisata kearea Taman Nasional Ujung Kulon. Dia
men-charge turist sebesar Rp 1.800.000.- sehari, maksimal untuk 5
orang dan harga tersebut sudah termasuk: sewa kapal, perijinan
dan makan siang.
Saya berangkat dari Taman Jaya kearea Taman Nasional Ujung
Kulon dengan Komar, memakai perahu “Perjuangan dengan mesin
Mitsubhisi truk yang telah dimodifikasi. Nahkoda perahu adalah
Dudi (keturunan Bugis) dengan anak kapal Sarmin dan Bai.
Komar membawa 2 orang ajudan Nono dan Barwani (Ustadz/guru ngaji
setempat) dan saya membawa seorang asistant, Benny.
Kita start jam 7.30 pagi menyebrangi teluk Ujung Kulon (Teluk
Selamat Datang) menuju pulau Handeuleum. Teluk ini dipenuhi
dengan beratus-ratus bagan (tempat menangkap ikan) yang dibuat
dari bambu, karena disamping ringan, bambu itu mengapung diair.
Bentuknya kurang lebih sama, tetapi ada yang terapung, bisa
dipindah-pindahkan adapula yang fix ditanam didasar laut, yang
tidak begitu dalam, sekitar 13 s/d 15 meter. Meskipun jumlah
bagan ratusan tetapi para pemilik bagan mengetahui persis lokasi
bagan mereka.
Pulau Handeuleum (S6.808611-E105.576944), sebuah Pos
Ranger yang hanya dijaga oleh seorang Ranger, Hendra, tepat
berada didepan Taman Nasional Ujung Kulon.
Dari Ranger Hendra, kita meminjam canoe agar dapat menyusuri
sungai Cigenter, dimana biasanya banyak ular python yang
bergelantungan didahan-dahan mangrove. | | | | | | |
| | | [navigasi.net] Flora&Fauna - Taman Nasional Ujung Kulon | | | | |
Komar menasihatkan kalau mengambil foto ular python
supaya jangan tepat berada dibawahnya, karena kalau merasa
terusik, biasanya ular tersebut menjatuhkan dirinya dan mencebur
kesungai untuk menghindar dan tidak jatuh dicanoe. Saya melihat
ada seekor ular python kecil yang sedang tidur bergelandutan di
pohon mangrove yang menjorok kesungai. Karena ruangan untuk
memotret tidak cukup leluasa, saya memutuskan untuk langsung
mengambil foto dari bawahnya, saya pikir toh ular pythonnya nggak
begitu besar. Disaat klik-klik-klik rupanya siular ini merasa
terusik dan secepat kilat dia menjatuhkan dirinya, bukannya
kesungai tetapi tepat berada dipangkuan assisten saya Benny.
Benny yang nggak pernah menyentuh ular seumur hidupnya, sangat
shock dengan kejatuhan ular dan secara instinctive berusaha
berdiri, lupa bahwa dia berada diatas canoe yang sangat ramping.
Canoe bergoyang liar kekanan dan kekiri, Komar berteriak:
“Tenang-tenang, jangan bangun, nggak apa-apa, bukan ular
berbisa.. Akhirnya dengan ketenangan dan pengalamannya, Komar dan
Nono pembantunya berhasil menstabilkan canoe. Benny terkapar
dengan muka yang pucat pasi dan saya hampir saja kehilangan
alat-alat photography yang lumayan harganya.
Sepanjang perjalanan selanjutnya, si-Nonopun tidak
henti-hentinya menertawakan Benny
Setelah peristiwa tersebut, saya memutuskan untuk melepas
keinginan untuk memotret ular python dan langsung menuju kepulau
Peucang (S6.938333-E105.463333). Pulau Peucang seluas -/+ 500
hectar terletak dihidung Taman Nasional Ujung Kulon. Disamping
merupakan sebuah Pos Ranger, pulau ini juga disediakan tempat
penginapan bagi para turist maupun naturalist (peneliti) yang
ingin berkunjung ke-Taman Nasional Ujung Kolon. Setelah
kedatangan Presiden Suharto beberapa tahun yang lalu, beliau
meminta supaya kawasan pulau ini ditata dan dibangun lebih bagi,
dengan guest house dan sarana yang lebih lengkap. Sabdo Pandito
Ratu, maka dibangunlah guest house dengan sarana kamar-kamar
ber-AC, air panas/dingin, restauran dll. Sebagaimana yang kita
ketahui bahwa bangsa kita ini pandai membangun, tetapi tidak
pandai memelihara apa yang telah dibangunnya. Akibatnya,
sarana-sarana yang cukup baik itu dibiarkan tidak terpelihara dan
keadaannya agak menyedihkan. Restaurant tutup sejak beberapa
tahun yang lalu dan guest house tidak bisa dipakai karena listrik
nggak ada, solar sudah habis dipakai oleh orang Jakarta yang
datang lebih dahulu dari saya. | | | | | | |
| | | [navigasi.net] Flora&Fauna - Taman Nasional Ujung Kulon | | | | |
Saya ditawarin untuk mempergunakan guest house lama, dikamar
yang dilu pernah dipakai oleh Suharto, dengan lampu
petromax/lampu kapal. Guest house dibangun dengan konstruksi
bahan kayu dan kamar ex Pak Harto agak rapi dengan
kamar mandi “gebyar-gebyur dengan WC duduk. Dikamar banyak
foto-foto beliau, dengan para tamu-tamu seperti Prince Bernhard
dari Belanda dan lain2, bahkan ada foto Suharto dengan Bung
Karno. Karena kelelahan, saya tidak mempersoalkan keabsahan klaim
bahwa Suharto pernah tidur disitu.
Kita sangat disarankan untuk tidak membuka baik jendela maupun
pintu, karena grombolan monyet akan menjarah apa saja yang bisa
dipegangnya. Bebas dari jarahan monyet, ternyata snaks bawaan
kita yang kita letakan di-living room dijarah oleh tikus-tikus
dan saya hanya bisa mendengarkan “party para tikus karena
lampu petromax ya sudah mati dan keadaan gelap gulita.
Perjalanan kita teruskan menuju bagian selatan Ujung Kulon,
kepetilasan Sanghiang Sirah, dimana legenda menceritrakan bahwa
tempat itu serinbg dipergunakan oleh Prabu Kian Santang dari
kerajaan Siliwangi untuk bersemedi. Petilasan ini sampai sekarang
masih banyak dikunjungi oleh para peziarah, baik yang tua maupun
muda, terutama pada bulan Maulud.
Cuaca rupanya tidak bersahabat, angin semakin kencang, ombak
semakin tinggi dan muka Bennypun semakin pucat dan saya
memutuskan untuk tunduk pada Mother Nature dan memutuskan
berpetualangan ketempat-tempat yang lebih aman.
Kita meneruskan perjalanan menuju ke-Cidaun
(S6.913056-E105.385000) yang berada didaratan Ujung Kulon, tepat
dimuka pulau Peucang. Karena kita lupa membawa canoe, maka
terpaksa turun dari perahu, mencebur kelaut dan menyebrang
kedaratan dengan ketinggian air laut sebatas pinggang. Di-kawasan
savannah Cidaun ini ada yang dinamakan “padang gembala,
dimana pada sore hari, umumnya grombolan Banteng (Bos Javanicus)
berkumpul dan bersosialisasi. Alhamdulillah kita beruntung
menemukan segerombolan Banteng yang sedang berkumpul disekitar
kawasan tersebut.
Perjalanan kita lanjutkan menuju pulau Panaitan, seluas 17.000
hectar kesebuah Pos Ranger yang terletak di-Legon Butun
(S6.859722-E105.308611) dan tak seorang Rangerpun yang
nampak. | | | | | | |
| | | [navigasi.net] Flora&Fauna - Taman Nasional Ujung Kulon | | | | |
Kita memutuskan untuk menyusuri pulau Panaitan melalui Karang
Jajar, sebuah deretan karang yang berjajar yang cukup cantik,
tetapi udara berkabut sehingga hasil foto tidak maksimal.
Kita berhenti disebuah lagoon yang tenang dan cantik, namanya
Legon Kadam (S6.725556-E105.414722). Saya tidak begitu mengetahui
bagaimana Komar dan para awak perahu mempersiapkannya, tetapi
makan siang berupa nasi atau mie, lalapan dan goreng kering ikan
hasil tangkapan beberapa menit yang lalu, kenikmatannya akan
teringat lama sekali. Kita duduk-duduk ngobrol, minum air kelapa
sambil menikmati pemandangan Logon Kadam, dimana dari kejauhan
nampak para kijang bercanda ria dipantainya. Tiba-tiba saja,
terlelap tidur .
Sewaktu terbangun, waktu sudah agak sore dan awanpun sudah
agak hitam menandakan akan hujan dan kita langsung memutuskan
kembali ke-Taman Jaya. Dalam perjalanan, kita melihat ada
life-vest/alat pelampung yang mengapung ditengah laut dan
diatasnya ada saegerombolan kepiting yang memanfaatkannya untuk
juga ikut mengapung.
Untuk bisa melihat Badak (Javan Rhinoceros), sangat tidak
mudah dan kita harus menembus hutan Ujung Kulon (which nearly
impenetrable) dengan berjalan kaki dari Ujung Jaya kedaerah
Cikesik, Cigenter and Cibunar. Saya sangat menghormati usia saya,
maka saya memutuskan untuk tidak men-challenge usia saya
tersebut.
Jakarta, 9 June 2006.
|