| | | | | | |
| | | [navigasi.net] Museum - Le Mayeur | | | | | Museum Le Mayeur ini terletak ditepi pantai Sanur, berupa
bangunan dengan arsitektur Bali yang menampung kurang lebih 88
buah lukisan yang dibagi menjadi lima jenis koleksi berdasarkan
media yang dipakai, yaitu Bagor (22 lukisan), Hard Boeard (25
lukisan), Trilek (6 lukisan), Kertas (7 lukisan) dan Kanvas (28
lukisan). Sebagian besar tema lukisannya adalah wanita Bali
dengan bertelanjang dada. Bahkan ada yang menyebut bahwa Le
Mayeur adalah Gaugin-nya Indonesia.
Tidak semua lukisan yang dipamerkan merupakan hasil karyanya
selama sang pelukisanya tinggal di Bali, beberapa bahkan
merupakan lukisan impresionis Le Mayeur setelah melakukan
perjalanan dari Eropa, Afrika, India, Italia dan Perancis sebelum
tiba di Bali. Tengok saja beberapa diantara-nya “Canal of
Gindecca”, “Early Morning in the Harbour of
Marseille”, “Istambul (Turkey)”, “Jaipur,
India”. Dua lukisan terakhir dibuat tahun 1929.
Museum yang dinamakan sesuai dengan nama pelukisnya Adrien
Jean Le Mayeur de Merpres (1880-1958) adalah pria berkebangsaan
Belgia yang konon juga merupakan keturunan keluarga bangsawan. Le
Mayeur menginjakkan kaki di Bali pada tahun 1932 di usia-nya yang
ke 52. Rencana awalnya adalah tinggal di Bali selama 8 bulan saja
sekedar untuk menggali ide dan insipirasi dalam berkarya. Le
Mayeur bertemu dengan seorang gadis Bali belia bernama Ni Pollok,
penari Legong yang berasal dari Desa Kelandis yang kala itu masih
berusia 17 tahun (beberapa cerita bahkan menyebutkan usia Ni
Pollok adalah 15 tahun waktu mereka bertemu). | | | | | | |
| | | [navigasi.net] Museum - Le Mayeur | | | | | Setelah menjadi
model lukisannya selama kurang lebih 2 tahun mereka akhirnya
menikah dan Le Mayeur memutuskan untuk membangun tempat tinggal
di tepi pantai Sanur yang waktu itu masih merupakan desa nelayan
yang sunyi. Ni Pollok-pun diajarinya membaca dan menulis dan
ditempa menjadi wanita Bali yang mandiri. Rencana awal untuk
tinggal selama 8 bulan saja akhirnya menjadi 26 tahun.
Anda bisa melihat banyak lukisan yang menjadikan Ni Polok
sebagai model tunggalnya, sebut saja “Pollok” yang
dibuat tahun 1957 diatas kanvas 75x90cm, warnanya sangat indah
dan berani. Lain lagi adalah “Disekitar rumah Pollok”
(1957, kanvas 75x90cm) atau “Memetik Bunga untuk sembahyang
/ Picking flowers” (1957, 100x120cm). Konon beberapa cerita
menyebutkan selama menjadi modelnya Ni Pollok harus rela berjemur
selama berjam-jam dalam kondisi cuaca yang panas tanpa boleh
menggerakkan anggota tubuhnya apalagi mengeluh, padahal beberapa
lukisannya dilakukan dalam keadaan bertelanjang dada. Tidak semua
lukisan dibuat dengan cat minyak, ada pula yang dibuat dengan cat
air dan pensil pada kanvas dan tikar jerami yang halus. Mungkin
pelukisnya ingin menunjukkan masa-masa dimana kanvas juga sulit
untuk diperoleh, terutama pada saat pendudukan Jepang.
Hasil lukisan yang menggunakan Ni Pollok sebagai modelnya
sempat dipamerkan di Singapura dan menuai sukses pada kala itu.
Selain sebagai pelukis, Le Mayuer juga pandai menarik minat
pembelinya. Setelah melukis seharian pada pagi dan siang hari,
malam harinya ia mengadakan beberapa pertunjukan tari-tarian
untuk menarik minat pembelinya. Itu sebabnya ada bagian rumah
berupa pendopo yang dijadikan tempat menerima tamu dan
bersosialisasi dengan pembeli, seniman lokal atau kunjungan dari
kawan dan sanak saudara. Tak dipungkiri tahun-tahunnya menetap di
Bali merupakan tahun yang paling produktif dalam hidup Le Mayeur.
Dikabarkan ia sempat memberikan donasi untuk Perancis, Belgia dan
Inggris setelah ketiga negara itu mengalami kebangkrutan akibat
perang yang berkepanjangan di tahun 1941. | | | | | | |
| | | [navigasi.net] Museum - Le Mayeur | | | | |
Pada tanggal tahun 1958 Le Mayeur terpaksa kembali ke Belgia
untuk mendapatkan perawatan terhadap kanker yang dideritanya, dia
meninggal pada tanggal 31 Maret tahun yang sama disana. Setelah
itu Ni Pollok mengelola museum itu seorang diri. Karena mereka
tidak memiliki keturunan dan ahli waris, sepeninggal Ni Pollok
museum ini diserahkan kepada pemerintah untuk mengelola. Tiket
masuk domestik sebesar Rp 2000 (dewasa) dan Rp 1000 (anak-anak)
akan dikenakan pada anda. Untuk turis asing tiket masuk dewasanya
adalah Rp 5000 dan Rp 2500 untuk anak-anak. Museum ini buka pada
pukul 8.00-14.00 (Senin-Kamis), 8.00-11.00 (Jumat) dan 8.00-12.30
(Sabtu).
Sangat disayangkan karena kondisi museum tidak terlalu
terjaga. Konon pemerintah Belgia pernah memberikan donasi ribuan
USD untuk membantu perawatan museum ini. Pencahayaan yang kurang,
tidak nampak tour guide ketika ada pengunjung datang, debu di
beberapa furnitur tua dan penataan dari lukisan-lukisan yang
dipasang adalah beberapa hal yang bisa diperbaiki dari
pengelolaan museum ini.
Bagi bukan penikmat lukisan anda tidak perlu kuatir karena
bentuk bangunan yang berarsitektur Bali asli juga layak untuk
dinikmati, selain itu museum ini penuh dengan koleksi pemiliknya
berupa buku-buku tua, furnitur Bali dan beberapa ukiran lainnya.
Ada pula toko souvenir kecil disamping bangunan utama bagi anda
yang ingin sekedar membeli kenang-kenangan berupa kartu pos dan
barang lainnya. Anda tidak diijinkan untuk mengambil gambar
lukisan-lukisan didalam museum karena dikuatirkan akan merusak
lukisan itu sendiri. Museum ini cocok sekali sebagai sarana
wisata keluarga.
|