Danau kecil atau biasa disebut dengan Situ membentang dengan bunga
teratai dan eceng gondok diatasnya. Situ Cangkuang, biasanya
penduduk setempat menyebut nama tersebut dan termasuk salah satu
Situ yang sangat bersejarah, karena ditengahnya terdapat sebuah
bangunan candi. Candi Cangkuang adalah satu-satunya candi yang
dapat dipugar di daerah Jawa Barat.
Nama Candi Cangkuang disesuaikan dengan nama desa dimana candi
itu ditemukan. Desa Cangkuang berasal dari nama pohon yang banyak
terdapat disekitar makam Embah Dalem Arif Muhammad, namanya pohon
Cangkuang, pohon ini sejenis pohon pandan dalam bahasa latinnya (
Pandanus Furcatus ), tempo dulu daunnya dimanfaatkan untuk membuat
tudung, tikar atau pembungkus gula aren. Embah Dalem Arif Muhammad
dan kawan-kawan beserta masyarakat setempatlah yang membendung
daerah ini, sehingga terjadi sebuah danau dengan nama "Situ
Cangkuang" kurang lebih abad XVII. Embah Dalem Arif Muhammad
dan kawan-kawan berasal dari kerajaan Mataram di Jawa Timur. Mereka
datang untuk menyerang tentara VOC di Batavia sambil menyebarkan
Agama Islam di Desa Cangkuang Kabupaten Garut. Waktu itu di Kampung
Pulo salah satu bagian wilayah dari desa Cangkuang sudah dihuni
oleh penduduk yang beragama Hindu. Namun secara perlahan namun
pasti, Embah Dalem Arif Muhammad mengajak masyarakat setempat untuk
memeluk Agama Islam.
| | | | | | |
| | | [navigasi.net] Budaya - Candi Cangkuang | | | | |
Desa Cangkuang terletak disebelah utara kabupaten Garut masuk
Kecamatan Leles, tepatnya berjarak 17 km dari Garut atau 46
km dari Bandung. Untuk menuju situs Cangkuang dari arah Bandung,
bisa menggunakan mobil pribadi atau umum. Dari arah Bandung menuju
Garut kita akan ketemu dengan kecamatan Leles, ketika sampai di
Leles ada sebuah papan petunjuk yang sangat jelas yang menunjukkan
posisi Candi Cangkuang. Masuk ke dalam sejauh kurang lebih 3 km,
dengan jalan beraspal dapat dilalui oleh kendaraan baik roda dua
maupun empat, bahkan masih dipertahankan angkutan tradisional
delman ( andong ). Apabila ditempuh dengan jalan kaki memerlukan
waktu kurang lebih 30 menit. Udara didaerah ini tergolong sejuk,
karena terletak di ketinggian 700 m diatas permukaan air laut.
Disepanjang perjalanan dari Leles ke desa Cangkuang kita akan
menyaksikan indahnya sawah yang hijau, disebelah utara kita akan
melihat Gunung Haruman, dan disebelah barat akan nampak Gunung
Mandalawangi dan Gunung Guntur yang menjulang tinggi.
Gerbang yang tidak terlalu besar akan menyambut kehadiran para
pengunjung, bahkan lokasi parkir bagi para pengunjung hanya muat
untuk 3 mobil ukuran kecil sejenis sedan dan minibus. Untuk bus
besar bisa diparkir ditepi jalan desa. Sejenak kita bisa
beristirahat ditepi situ, sambil menikmati makanan kecil yang sudah
kita bawa. Teduh rasanya memandangi air situ yang bening kehijauan
dan udara yang sejuk. Untuk mencapai Candi Cangkuang kita harus
menyeberangi situ, kurang lebih berjarak 500 meter dari tempat
gerbang masuk. Rakit dari bambu siap mengantarkan kita dengan
ongkos 50,000 per rakit, dimana satu rakit kapasitas maksimalnya 25
orang. Kurang lebih setelah 10 menit berada diatas rakit, sampailah
kita dilokasi Candi Cangkuang. Memasuki areal candi setiap orang
dikenakan biaya restribusi sebesar Rp 1000,- yang digunakan untuk
pemeliharaan candi tersebut. Pagi hari rasanya lebih indah ketika
kita mengunjungi candi tersebut, karena selain candi tersebut
terletak ditanah yang paling tinggi diantara bangunan-bangunan lain
ditempat itu, kabut pagi yang menyembul diantara pohon-pohon besar
di sekitar candi menambah kesan angker candi, namun hal itu justru
menambah pesona tersendiri dari Candi Cangkuang.
| | | | | | |
| | | [navigasi.net] Budaya - Candi Cangkuang | | | | |
Candi Cangkuang ditemukan kembali oleh Team Sejarah Leles dan
sekitarnya pada tanggal 9 Desember 1966. Team ini disponsori oleh
Bapak Idji Hatadji ( Direktur CV. Haruman ). Team Sejarah Leles
diketuai oleh Prof. Harsoyo, serta sebagai ketua penelitian sejarah
dan kepurbakalaan adalah drs. Uka Tjandrasasmita, seorang ahli
purbakala Islam pada lembaga purbakala. Drs. Uka Tjandrasasmita
mula-mula melihat adanya batu yang merupakan fragmen dari sebuah
bangunan candi dan disamping itu terdapat pula makam kuno
berikutsebuah arca ( patung ) Siwa yang sudah rusak, tempat
penemuan ini adalah merupakan sebuah bukit di Kampung Pulo Desa
Cangkuang. Penelitian tersebut berdasarkan tulisan Vorderman dalam
buku Notulen Bataviaasch Genootschap terbitan tahun 1893 yang
menyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuno ( Arif
Muhammad ) dan sebuah arca yang sudah rusak. Selama penelitian
selanjutnya disekitar tempat tersebut ditemukan pula
peninggalan-peninggalan kehidupan pada zaman pra sejarah yaitu
berupa alat-alat dari batu obsidian ( batu kendan ),
pecahan-pecahan tembikar yang menunjukkan adanya kehidupan pada
zaman Neolithicum dan batu-batu besar yang merupakan peninggalan
dari kebudayaan Megaliticum.
Lebih unik lagi disamping Candi cangkuang terdapat sebuah
pemukiman yang dinamakan dengan Kampung Pulo. Sebuah kampung kecil
yang terdiri dari enam buah rumah dan kepala keluarga. Ketentuan
ini harus ditepati, dan sudah merupakan ketentuan adat kalau jumlah
rumah dan kepala keluarga itu harus enam. Oleh karena itu bagi
Kampung Pulo Desa Cangkuang sukar atau relatif lama untuk
berkembang, baik rumahnya atau penduduknya dari keenam kepala
keluarga tersebut. Sebagian besar dari penduduk Kampung Pulo
tersebut bermata pencaharian petani dengan tanah sendiri, dan
sebagian lagi sebagai petani penggarap tanah orang lain. Penduduk
yang menempati kampung ini merupakan penduduk keturunan ke tujuh
dari Eyang Dalem Arif Muhammad. Karena uniknta tempat ini, baik
dari sejarah maupun lokasinya, membuat daya tarik tersendiri buat
wisatawan baik domestik maupun luar negeri untuk mengunjungi tempat
ini. Menurut petugas, "tiap hari selalu ada wisatawan asing yang
berkunjung kesisni, belum lagi diakhir minggu biasanya banyak
dikunjungi oleh anak-anak sekolah untuk memperdalam pengetahuan
sejarah. Namun begitu, faktor kebersihan dan keindahan nampaknya
kurang mendapat perhatian serius dari Dinas Pariwisata yang
mengelola tempat ini. Selain itu fasilitas MCK juga kurang memadai,
sehingga ke depan agar tempat ini tetap menarik buat para
wisatawan, pihak-pihak terkait harus memperbaiki dan melengkapi
fasilitas-fasilitas yang ada.
AMGD
|